Select Page
Disclaimer:
Kisah yang ditulis dalam artikel ini based on true story dan mungkin saja memiliki kesamaan dengan apa yang dialami oleh pembaca. Mohon menilai kisah tersebut secara seimbang.
Menemukan pasangan hidup bisa jadi salah satu hal yang paling memusingkan membuat penasaran. Selain memikirkan kapan waktu indah itu tiba, pikiran untuk bisa menikah dengan sosok yang tepat kerap menghantui. Pertanyaan seperti, “Siapakah jodoh saya? Apakah nanti saya akan cocok dengannya?” layaknya teka-teki yang sulit sekali terjawab. Wajar saja, karena kita tidak pernah tahu siapa dan seperti apa dia. Only God knows. Ya, seperti itu jawabannya.
Berbagai cara kemudian dilakukan untuk mengusahakan pertemuan itu. Mulai dari membuka diri, memperluas jaringan dan tergabung dalam berbagai komunitas, menggunakan aplikasi online hingga meminta dikenalkan oleh orang tua, saudara atau teman. Semua itu dilakukan sebagai bagian dari ikhtiar menemukan dia yang selalu menjadi puzzle dalam hidup kita. Meskipun sebenarnya ada hal yang lebih berat dari sekedar menemukannya, yakni meyakinkan hati apakah kita benar-benar ingin membersamainya di sisa usia.

Keraguan kadang dialami oleh banyak pasangan yang sudah saling bertemu, merasa cocok kemudian sepakat untuk menikah, seolah-olah memakan semua keyakinan yang pernah terpatri di dalam hati, menceraiberaikan keinginan menjadi angan-angan. Yang tadinya jelas dan terang, lama-lama menjadi kabur dan buram. Tapi itulah kenyataannya – bahwa rencana pernikahan yang sudah di depan mata bisa tiba-tiba berakhir begitu saja. Semua yang sempat terlihat indah mendadak terlupakan bahkan seketika lenyap tak berbekas.

***


September 2019

Rencana Allah memang tidak pernah saya tahu. Saya pun tidak pernah membayangkan bahwa saya dan dia akan memutuskan untuk menikah hanya dalam hitungan minggu. Perkenalan singkat kami melalui teman rasanya seperti perkenalan yang sudah lama dinanti. Kami seperti sudah saling menemukan dan sama-sama yakin pada pilihan kami saat itu. Dengan perasaan bahagia, saya mulai mempersiapkan semuanya. Beberapa teman dekat pun turut menyemangati. Saya rasa aura bahagia saya kian muncul dan menular pada mereka. 

Namun, antusiasme itu sepertinya hanya saya yang rasakan. Perasaan itu muncul pertama kali ketika dia tidak banyak berkomentar tentang busana pengantin yang pernah saya coba di sebuah sanggar. Dia seolah-olah hanya jadi pengikut, padahal saya ingin dia turut ambil bagian, setidaknya memberikan pandangan. Sejak saat itu, ada yang selalu mengganjal dalam benak saya, “Apa dia benar-benar menginginkan pernikahan ini?” 

Pertanyaan itu terus saja muncul dalam pikiran, namun seolah terlupakan tiap kali bertemu dengannya. Semua kembali pasti dan meyakinkan. Tapi apa yang terlihat pasti tersebut, nyatanya kemudian justru terlihat meragukan baginya. Dia membatalkan pernikahan tepat tiga bulan sebelum hari pernikahan dan tiga minggu sebelum lamaran. 

Kenyataan pahit tersebut harus saya terima di tengah-tengah musibah yang keluarga saya tengah alami –  nenek saya terjatuh hingga membuatnya sakit, sehingga Ayah harus merawatnya di kampung halaman sampai saat ini. Selama dua malam saya hanya bisa menangis dan berdoa di dalam kamar sambil sesekali menerima telepon dari teman dekat yang mengkhawatirkan keadaan saya. Bahkan ada di antara mereka yang khawatir kalau saya akan berpikir untuk mengakhiri hidup. Alhamdulillah, hal itu tidak pernah terjadi dan tidak pernah muncul lagi sejak 8 tahun silam. Saya juga dengan berat hati harus membatalkan semua hal yang sudah terlanjur dipesan: gedung, catering, busana pengantin, hingga seserahan yang ternyata sudah selesai dihias. Setiap ingat semua persiapan itu, tangis saya selalu tumpah.

Perasaan sedih, marah dan kesal berkecamuk dalam diri saya – semuanya campur aduk. Saya bahkan mulai takut untuk melangkah lagi. “Apakah saya akan bertemu dengan orang yang benar-benar serius dan tulus mencintai?” Pemikiran tentang pria baik pun seolah menjadi kabur. Saya hampir trauma. 

Namun, setelah satu bulan berlalu, kesedihan itu mulai pudar. Saya mencoba bangkit dan mulai menata hati kembali. Mungkin kejadian ini sudah sepatutnya saya syukuri. Allah masih sayang dengan saya karena tidak membiarkan saya melangkah terlalu jauh lagi. Ternyata ada banyak hal yang saya lewatkan kemarin – keyakinan orang tua dan saya sendiri. Saya mungkin memaksakan kehendak saya untuk tetap menikah dengannya, walau sempat ada keraguan dalam diri ini. 

Tapi Allah selalu memberi hikmah dari setiap kejadian. Setidaknya saya belajar mempersiapkan mental dalam menghadapi pernikahan. Saya belajar bersabar dan mengalah. Saya pun belajar untuk lebih mengenal diri saya, untuk tahu apa yang saya butuhkan dalam sebuah pernikahan, dan apa motivasi saya dalam berumah tangga. 

Ya, begitulah rencana-Nya. Saya tidak pernah tahu apa yang tengah Allah siapkan untuk saya. Rencana saya pun belum tentu di”iya”kan oleh-Nya. Namun saya harus tetap yakin akan janji Allah – bahwasanya Allah akan menggantikan dengan yang jauh lebih baik dan menawan hati. Ketika akhirnya saya dan dia tak berjodoh, berarti memang bukan dia yang ditakdirkan. Sebab menikah itu bertujuan mengukir ketaatan, bukan sekedar ajang sayang-sayangan. Menikah dimulai dengan ketulusan dan keikhlasan, bukan keterpaksaan.

Biarlah luka hati ini mengering dengan sendirinya, seriring waktu, seraya memasrahkan diri sambil terus memanjatkan doa agar Allah memberikan kebahagiaan sebagai gantinya. Aamiin. 

Ketika Akhirnya Kita (Tak) Berjodoh